Entah senjata makan tuan, entah musuh dalam selimut. Hal yang diharapkan memang tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Maksud hati memperjuangkan hak, apa daya, tanpa bukti di tangan semua hanya sia-sia belaka. Inilah yang terjadi pada Bos Taksi Gamya, Mintarsih.
Mintarsih Abdul Latief merasa dirinya ‘dibuang’ dari kepemilikan saham di PT. Blue Bird dan menggugat Purnomo Prawiro selaku Direktur Utama ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatannya ini bukan tak beralasan. Dia mengatakan bahwa logo dan merek yang digunakan taksi Blue Bird merupakan logo dan merek yang sama ketika dirinya, Purnomo, dan Chandra Suharto mendirikan CV. Lestiani sebagai pemegang saham utama PT. Blue Bird Taxi pada tahun 1971.
“Pada kelanjutannya tahun 2001, Purnomo dan Chandra membentuk PT. Blue Bird tanpa ada kata Taxi didalamnya. Namun sampai sekarang semua logo dan merek yang digunakan perusahaan tersebut sama dengan yang digunakan PT. Blue Bird Taxi. Bahkan karyawan dan gedung yang digunakan awalnya adalah milik PT. Blue Bird Taxi. Jadi saya gugat,” kata Mintarsih ketika dihubungi CNN Indonesia, Jumat (30/1).
Semenjak bergabung, Mintarsih menilai dirinya sama sekali tidak pernah melepas kepemilikan di PT. Blue Bird Taxi, sehingga menurutnya pendirian PT. Blue Bird merupakan perusahaan dalam perusahaan yang didirikan Purnomo tanpa persetujuan dirinya selaku pemegang saham awal. Lebih lanjut dikatakan bahwa saat perusahaan itu kemudian menjadi perusahaan terbuka dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia, dirinya sama sekali tidak dilibatkan dalam pembicaraan tersebut.
“Purnomo hanya mengajak anak-anaknya dan para pemegang saham PT. Blue Bird saja,” kata Mintarsih.
PT Blue Bird Tbk (BIRD) sendiri pada Rabu, 5 November 2014 tercatat secara resmi sebagai emiten ke-19 yang melantai di bursa. Dengan melepas saham ke publik (Initial Public Offering/IPO) sebanyak 376,5 juta saham senilai Rp 6.500 per saham, Blue Bird mengantongi dana Rp 2,4 triliun yang akan digunakan untuk mendanai ekspansi perusahaan.
Sebelumnya, melalui keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia, Purnomo melaporkan bahwa Mintarsih telah mendaftarkan gugatan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 20 Januari 2015. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor 01/Pdt.Sus-Merek/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst dan dalam gugatannya Mintarsih meminta para tergugat termasuk dirinya untuk membatalkan logo “Burung Biru” dan merek “Blue Bird” yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM.
“Para tergugat juga diminta membayar ganti rugi atas kerugian materil sebesar Rp 5,65 triliun dan kerugian immaterial Rp 1 triliun,” kata Purnomo.
Siapa sangka, gugatan Mintarsih ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut majelis, penggugat dinilai tidak berhak mengajukan gugatan karena penggugat belum mengajukan pendaftaran merek ke Dirjen Hak dan Kekayaan Intelektual (HAKI). Hal ini diperkuat oleh pernyataan ketua majelis hakim, Kisworo, bahwa gugatan ditolak seluruhnya. Putusan tersebut dinilai majelis hakim berdasarkan pasal 68 ayat 1 UU No 15/2001 tentang Merek.
“Penggugat dinilai tidak berhak mengajukan gugatan merek karena belum mengajukan pendaftaran ke Direktorat Jenderal Hak dan Intelektual. Selain itu, penggugat juga belum mempunyai sertifikat merek yang terdaftar,” ucapan Kisworo.
Putusan ini tentu saja mengecewakan bagi Mintarsih dan ia masih bersikeras gugatan pembatalannya tetap sah dan bisa dilakukan kendati belum mendaftarkan merek. Oleh karena itu Mintarsih akan melakukan pertimbangan untuk mengajukan upaya hukum kasasi. Sedangkan kuasa hukum PT. Blue Bird ,Harjon Sinaga, mengatakan putusan tersebut sudah sesuai fakta dalam persidangan.
“Gugatannya memang tidak beralasan hukum dan penggugat bukan pemilik atas merek dan logo yang dipersengketakan,” ujar Harjon saat dikonfirmasi terpisah.
Sumber: cnnindonesia.com
detik.com
IndoTrademark.com
Gambar : themalaysianinsider.com
Leave a Comment