Nama Holland Bakery diperebutkan dua pengusaha. Perkaranya merembet dari
Yogyakarta ke Surabaya. Ini semua dikarenakan kantor merek mengeluarkan
izin untuk dua nama yang sama.
Lokasi kebakaran dikelilingi police line itu biasa. Tapi, jika papan
nama toko dibalut pita berwarna kuning itu tentu menimbulkan tanda tanya
besar. Apalagi yang dipasangi bukan cuma satu dua, melainkan 12 toko!
Nasib apes itulah yang menimpa Holland Bakery di Kota Pahlawan.
Penyegelan papan nama tadi tak urung menimbulkan kerugian bagi Mustika
Citra Rasa, pemilik merek Holland. ”Omzet kami turun 20%,” tutur Paulus
Tejakusuma, Direktur Mustika Citra Rasa yang memiliki 30 lebih gerai
Holland Bakery di Indonesia. Belum lagi ia khawatir pelanggannya
bisa-bisa mengira Holland Bakery tidak halal atau semacamnya. Oleh
Polwiltabes Surabaya, Paulus telah didudukkan sebagai tersangka pemalsu
merek Holland Bakery.
Adalah F.X. Kiantanto, pengusaha asal Yogyakarta, yang melaporkan Paulus
ke Polwiltabes Surabaya. Akhir Januari lalu Kiantanto melaporkan bahwa
Abadi Kurnia Citrarasa, pemegang franchise Holland Bakery dari Mustika
Citra Rasa untuk Jawa Timur, telah melakukan pemalsuan merek jasa.
”Katanya, 12 toko roti ini sengaja memasang papan nama Holland Bakery,”
ungkap Iptu Nunuk Sundarwati, penyidik dari Reserse Tindak Pidana
Tertentu Polwiltabes Surabaya. Itulah sebabnya, polisi lekas-lekas
menyegel semua papan nama toko Holland Bakery.
Meski papan namanya disegel, toko roti yang disangka melakukan pemalsuan
tadi boleh tetap berjualan. ”Yang tidak boleh adalah memasang papan
Holland Bakery di tokonya,” tandas Nunuk. Menurutnya, merek jasa Holland
Bakery dipegang oleh Kiantanto. Adapun Mustika Citra Rasa dalam catatan
Nunuk adalah pemegang merek Holland Bakery untuk kue dan roti. Jadi,
Mustika tetap boleh menjual roti bermerek Holland Bakery alias Roti
Belanda.
Perseteruan Mustika Citra Rasa dengan Kiantanto dimulai setahun lalu di
Kota Gudeg. Saat itu Paulus mengunjungi Yogyakarta dengan maksud membuka
cabang Holland Bakery di sana. Betapa kagetnya Paulus ketika menemukan
bahwa di Jalan Sudirman Yogyakarta ternyata telah ada kafe dan toko roti
berlabel Holland Bakery. Hanya, logonya berbeda. Holland versi Mustika
berlogo kincir angin, Holland van Jogja ini bergambar dua pasang bunga
tulip. Maka, bulan Februari 2001, Paulus melaporkan pemilik Holland
Bakery Yogya, yakni Kiantanto, ke Polda DIY.
Setahun setelah dilaporkan, aparat hukum beraksi. Berkas sudah
dilimpahkan dari polisi ke kejaksaan. Jaksa lantas mengeluarkan
surat penahanan terhadap Kiantanto. Tuduhannya adalah pemalsuan merek.
Tanggal 2 Februari 2002 Kiantanto terpaksa mendekam di rumah tahanan
kejaksaan. Pengusaha terkenal di Yogya yang juga pemilik Borobudur Plaza
dan Kafe Jogja-Jogja ini berhasil bebas tanggal 21 Februari 2002.
Selepas dari tahanan, giliran Kiantanto segera mengadukan pemalsuan
merek Holland Bakery di Surabaya kepada Polwiltabes Surabaya.
Kepemilikan merek Holland Bakery ini memang rumit. Mustika Citra Rasa
sudah mengajukan pendaftaran tahun 1987, tapi saat itu ditolak Ditjen
Hak Cipta Paten dan Merek (HCPM) —kini Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI). “Alasannya, kami memakai nama negara asing (Holland),” ungkap
Paulus. Kebetulan, tahun 1986 Mustika berperkara dengan pengusaha Abun
Kusuma yang juga berminat mengusung merek Holland Bakery. Perkara ini
dimenangi Mustika hingga tingkat kasasi pada 1988.
Berbekal putusan MA tadi, Mustika kembali mengajukan pendaftaran pada
kantor HCPM. Dikabulkan. Jadilah, sejak 1990 Mustika memegang merek
Holland Bakery untuk kelas 30, yakni segala macam roti dan kue. Malah,
mereka sudah mendaftarkan paten Holland Bakery bergambar kincir angin
khas Belanda. Dalam aturan merek yang lama, dua jenis merek yakni dagang
dan jasa, sudah termasuk di dalam satu izin tersebut.
Tapi, tahun 1993, kantor HCPM memberikan merek Holland Bakery kepada
Kiantanto, meskipun untuk kelas berbeda, yakni 42 (kafetaria, katering,
dan sebagainya). Bahkan, tahun 1996 sekali lagi Kiantanto mendapatkan
merek Bakeri Holan untuk kelas 42. Hal itu dilakukan demi mengantisipasi
penamaan Indonesia yang diharuskan pemerintah kala itu. Paulus malah
sudah mengubah nama produknya menjadi Bakeri Holan setahun sebelumnya.
Menurut Omar Dani, jaksa penuntut dari Kejaksaan Tinggi DIY, sebenarnya
Kiantanto dan Mustika sama-sama memiliki kelemahan. Dari pemeriksaan
ditemukan bahwa Kiantanto tidak berhak memproduksi barang dengan merek
Holland Bakery. Sebab, izin yang dikantunginya semata untuk tempat
berjualan. Jadi, dia tidak melanggar hukum saat membuka toko roti dengan
nama Holland Bakery.
Masalah muncul saat Mustika menemukan bahwa Kiantanto menjual roti
bermerek Holland Bakery di tokonya. Perbuatan Kiantanto ini melanggar
Pasal 82 UU Merek 19/1982. Menurut Omar, posisi Kiantanto sebenarnya
sangat lemah. Pasalnya, selama tiga tahun sejak mendapatkan merek Bakeri
Holan Kiantanto belum sekali pun menggunakan nama tersebut. Baru tahun
lalu Kiantanto mendirikan gerai bernama Bakeri Holan di Borobudur Plaza.
Maka, “Kepemilikan itu seharusnya sudah gugur,” ujar Omar seraya
menjelaskan bahwa merek yang selama tiga tahun berturut-turut tidak
digunakan otomatis gugur.
Sumber: Indotrademark.com
Gambar: hargamenuinfo.blogspot.com
Leave a Comment